Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pemersatu Nusantara selama puluhan tahun.
Namun, sebelum Bahasa Indonesia digunakan, berbagai suku bangsa di tanah air telah menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing.
Salah satu bahasa di Pulau Sumatera yang memiliki sejarah panjang adalah bahasa Batak.
Aksara Batak batak aktif digunakan sejak Abad ke-18 hingga kini, akan tetapi budaya tulisan ini sudah mulai terlupakan.
Asal Usul dan Sejarah
Aksara Batak digunakan untuk penulisan enam rumpun bahasa Batak yaitu Batak Karo, Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Angkola, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing dengan beberapa varian penulisan.
Terdapat 19 aksara dasar dengan beberapa tambahan aksara pada varian tertentu di aksara Batak.
Aksara ini merupakan turunan dari aksara India bernama Brahmi dan diduga berkembang pertama kali di daerah Angkola-Mandailing.
Surat Batak kemudian menyebar ke arah utara menuju daerah Danau Toba, Simalungun, Pakpak-Dairi, hingga mencapai Tanah Karo.
Di Tanah Karo aksara ini masih kental digunakan oleh masyarakat dan bertahan paling lama.
Meskipun begitu tidak banyak peninggalan yang ditemukan mengenai aksara ini oleh penulis asing.
Hanya pada tahun 1849-1857 saja ada penulis asing sekaligus ahli bahasa bernama Herman Neubronner Van der Tuuk yang berhasil mengumpulkan materi komprehensif mengenai tradisi lisan dan tulisan bahasa Batak.
Hingga kini, tulisan Van der Tuuk masih menjadi rujukan dalam studi bahasa Batak.
Kesulitan ditemukannya peninggalan Aksara Batak ditengarai karena media penyimpanan tulisan yang mudah tergerus zaman.
Secara tradisional Aksara Batak ditulis dalam media bambu, tulang, dan kulit kayu.
Media-media tersebut gampang rusak dan lapuk sehingga banyak peninggalan yang tidak dapat diidentifikasi.
Sedangkan media kertas baru digunakan pada abad ke-19 ke atas.
Namun, masyarakat masih menggunakan media kayu sebagai sarana utama menulis aksara hingga kini mulai terlupakan.
Kemampuan membaca dan menulis Aksara Batak tersebar ke dalam lapisan masyarakat.
Biasanya masyarakat Bakat menggunakan aksara untuk menulis surat, naskah pustaha (panduan dan catatan pribadi pendeta Batak), dan ratapan Batak.
Pasang surut penggunaan Aksara Batak juga terjadi.
Masuknya agama Kristen dan Islam di wilayah Batak banyak berpengaruh dalam hal ini.
Hal itu karena ada sebagian besar naskah kuno yang dianggap sebagai benda kafir yang kemudian dimusnahkan.
Uniknya, dahulu para misionaris Kristen Jerman menggunakan aksara Batak untuk menyebarkan agama Kristen di tanah Batak pada tahun 1860.
Bahkan antara abad ke-19 hingga abad ke-20 ada percetakan di Elberfeld, Jerman dan Laguboti di pesisir Danau Toba yang secara spesifik memproduksi materi bersurat Batak.
Sayangnya pada masa pendudukan Jepang di tahun 1942, percetakan tulisan Batak Laguboti dibakar habis bersama dengan buku-buku cetak Batak yang ada.
Hingga masa pasca kemerdekaan, produksi naskah atau buku dengan Aksara Batak di Sumatera Utara masih belum kembali seperti semula bahkan terlupakan.
Dilansir dari helloindonesia.id, masih ada 90 persen naskah dengan Aksara Batak yang tersimpan di museum-museum mancanegara.
Hal itulah yang turut membuat para peneliti lokal kesulitan untuk mengakses peninggalan yang ada.
Kemunduran penggunaan Aksara Batak terus terjadi hingga kini mulai terlupakan.
Maka dari itu kita sebagai generasi penerus bangsa harus bisa melestarikan salah satu budaya bahasa daerah asli Nusantara ini.***
Leave a Reply