Kopi dan gaya hidup warga Desa Adat Waerebo yang bersahaja, menjadi magnet turis penikmat wisata minat khusus. Lokasi desa di Pegunungan Pocoroko, di ketinggian 1.200 mdpl, membuat siapapun harus mendaki, untuk menikmati suasana desa adat itu.
Kabar bagusnya, desa adat itu sudah dibuka kembali, setelah enam bulan ditutup akibat pandemi Covid-19. Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOPLBF) menyatakan siap memberikan pendampingan penerapan protokol CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Enviromental Sustainability) di Desa Adat Wae Rebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Kami sangat senang, karena Desa Adat Waerebo telah di buka kembali oleh Gubernur NTT. Kami siap mendukung pendampingan kepada masyarakat Wae Rebo mulai dari protokol kesehatan hingga penyediaan fasilitas fisik untuk CHSE,” tegas Shana.
Shana sebelumnya mendampingi Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat saat melaksanakan kunjungan kerja ke Desa Adat Wae Rebo, pada Minggu, 6 September 2020.
Sebagai langkah awal, Shana menegaskan pihaknya akan melaksanakan kegiatan padat karya Gerakan BISA (Bersih, Indah, Sehat, dan Aman) di Wae Rebo, sekaligus memberikan pendampingan penerapan protokol kesehatan kepada masyarakat desa adat yang telah dinyatakan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada Agustus 2012.
“Secepatnya, pekan depan kami akan melaksanakan gerakan BISA di Wae Rebo, sebagai respon dan dukungan atas dibukanya kembali desa wisata Wae Rebo,” kata Shana.
Kampung Adat Waerebo merupakan salah satu destinasi wisata unggulan Kabupaten Manggarai. Waerebo merupakan salah satu desa tertinggi yang ada di Indonesia dengan pemandangan yang indah dan dikelilingi pegunungan.
© Disediakan oleh Tempo.coWarga mengayak kopi yang merupakan hasil perkebunan masyarakat di desa adat Waerebo, 29 April 2017. Warga setempat mengembangkan komoditas kopi sebagai mata pencahariannya, kopi jenis Arabica merupakan produk unggulan karena aroma dan cita rasa yang khas, wisatawan dapat mencicipi kopi khas Waerebo dengan membeli langsung dari penduduk dengan harga Rp80.000 – Rp200.000 per kilogram. ANTARA FOTO
Karena lokasinya yang cukup tinggi, untuk mencapai desa ini, wisatawan harus melakukan trekking selama dua jam agar bisa mencapai desa. Saat menjangkaunya wisatawan akan melewati tiga pos pendakian, namun perjalanan itu akan terbayar dengan ramahnya penduduk, pemandangan yang indah, dan juga kopi panas lokal yang merupakan salah satu produk perkebunan masyarakat desa Waerebo.
Pekebunan kopi robusta sudah menyambut wisatawan sejak 700 meter sebelum kampung. Kopi menjadi komoditas warga. Dalam setahun, mereka bisa mendapatkan uang hingga Rp14 juta, yang mereka tabung untuk menyekolahkan anak-anak hingga pendidikan tinggi.
Menurut warga, kopi jenis robusta ditanam pertama kali pada 1960-an. Bertahun-tahun kemudian, kopi menjadi komoditas unggulan selain hasil sawah dan kebun.
Kopi benar-benar menjadi daya tarik selain adat istiadat warga. Desa Adat Waerebo juga tampak eksotis: ada tujuh rumah berberuk kerucut yang disebut mbaru niang. Rumah-rumah itu selamanya berjumlah tujuh dan telah dihuni turun-temurun lebih dari seabad.
Pintu tiap rumah adat menghadap ke compang, sebagai pusat aktivitas warga untuk mendekatkan diri kepada alam, leluhur, serta Tuhan — dengan berbagai ritual.
Para lelaki umumnya mengurus kebun, termasuk menjual kopi. Sementara para wanita membuat kain tenun, yang disebut tenun cura. Nah, sembari menikmati kesejukan Desa Adat Waerebo, kopi-kopi pun dihidangkan. Seruputan pertama, Anda akan mendapati kopi robusta yang kuat, lalu diselingi rasa fruity, seperti arak buah yang asam.
© Disediakan oleh Tempo.coTetua Adat Waerebo melakukan ritual adat menyambut pergantian musim hujan menuju musim kemarau yang disebut upacara adat Kasawiang, 28 April 2017. Bangunan rumah adat terbuat dari kayu beratap rumbia berbentuk kerucut yang disebut Mbaru Niang. ANTARA FOTO
Kopi menjadi daya tarik wisata. Turis yang datang diperlihatkan cara memanen, dengan memetik biji kopi robusta yang hanya berwarna merah. Turis lalu diajak melihat proses penjemuran, menggoreng biji kopi hingga menggilingnya. Dan, saat bersantai setelah tur pendek, kopi-kopi pun diedarkan. Dengan asap mengepul, aroma kesegaran kopi kian nikmat membaur dengan suasana alam yang asri.
Kopi, keramahan warga, dan suasana desa itulah yang membuat turis ingin kembali ke Desa Adat Waerebo.
sumber: tempo.co
Leave a Reply